Otoritas Jasa Keuangan atau OJK sedang memantau 25 perusahaan rintisan pinjaman online (pinjol) atau fintech karena pinjaman bermasalah. Kredit bermasalah tercermin dari tingkat gagal bayar perusahaan atas pengembalian atau keterlambatan pembayaran lebih dari 90 hari (TWP90) di atas 5%.
Kuseryansyah, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Reksa Dana Indonesia (AFPI), mengatakan penyebab melonjaknya NPL pinjaman fintech karena asuransi kredit dan wabah.
Kuseryansyah mengatakan perlindungan dari asuransi kredit merupakan tantangan besar dalam industri fintech lending. Asuransi kredit ini harus lebih kuat untuk mendukung industri fintech lending yang semakin agresif.
Selain itu, 25 pinjaman fintech bermasalah kemungkinan menjadi penyebab dampak pandemi covid-19. “Beberapa platform merupakan slow channel, terutama platform yang terdampak pandemi,” ujarnya dalam acara AdaKami Media Luncheon – Strategic Contribution of P2P Loans for More Inclusive Economic Growth di Jakarta, Selasa (21/3).
Salah satu fintech P2P lending yang bermasalah adalah TaniFund dengan TWP 63,93%. Petani dikatakan mengalami kendala pembayaran karena komponen biaya meningkat drastis.
Komponen biaya mengalami kenaikan seperti harga bahan baku, pakan ternak. “Jadi tentu saja mereka harus membelinya, tapi harganya tinggi,” katanya.
Keadaan ini menyebabkan margin ruang petani berkurang sehingga petani kesulitan membayar.
Dikatakannya, masalah kesulitan membayar di sektor pertanian tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi terjadi secara global. Di Indonesia, “sektor yang paling sensitif adalah pertanian.”
Selain masalah kenaikan biaya, petani juga menggunakan dana tersebut untuk urusan konsumtif. Kuseryansyah mengatakan pinjaman fintech P2P memiliki skor kredit yang membaca semua variabel dari calon peminjam yang mengharapkan ini.
Fintech juga harus melihat perilaku negatif atau sisi konsumtif peminjam yang dinilai memiliki potensi risiko tinggi. “Untuk melihat perilaku peminjam dari media sosial,” ujarnya.
Jumlah perusahaan rintisan pinjaman online yang dipantau OJK meningkat dibandingkan tahun lalu sebanyak 22 perusahaan. “Ada 25 perusahaan peer to peer lending dengan TWP90 di atas 5%,” kata Kepala Eksekutif Bidang Perasuransian, Penjaminan, dan Pengawasan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono akhir bulan lalu.
OJK akan memberikan surat pembinaan kepada 25 startup fintech lending atau pinjaman online. Surat ini meminta mereka untuk mengajukan rencana aksi untuk memperbaiki pembiayaan kredit macet.
OJK akan memantau pelaksanaan rencana aksi untuk memastikan pinjaman tidak terbayar atau menurunkan TWP90. Jika situasi pinjaman yang belum dibayar benar-benar meningkat, OJK akan mengambil tindakan pengawasan lebih lanjut.
OJK atau Dewan Jasa Keuangan sedang memantau 25 startup pinjaman online (pinjol) atau pinjaman fintech karena pinjaman bermasalah. Kredit bermasalah tercermin dari tingkat gagal bayar perusahaan atas pengembalian atau keterlambatan pembayaran lebih dari 90 hari (TWP90) di atas 5%.
Kuseryansyah, Direktur Eksekutif Asosiasi Fintech Reksa Dana Indonesia (AFPI), mengatakan penyebab melonjaknya NPL pinjaman fintech mungkin karena asuransi kredit dan wabah.
Kuseryansyah mengatakan perlindungan dari asuransi kredit merupakan tantangan besar dalam industri fintech lending. Dimana asuransi kredit ini harus semakin kuat untuk mendukung industri fintech lending yang semakin agresif.
Menurutnya, 25 fintech loan bermasalah bisa jadi menjadi penyebab dampak pandemi covid-19. “Beberapa platform merupakan slow channel, terutama platform yang terdampak pandemi,” ujarnya dalam acara AdaKami Media Luncheon – Strategic Contribution of P2P Loans for More Inclusive Economic Growth di Jakarta, Selasa (21/3).
Salah satu fintech P2P lending yang bermasalah adalah TaniFund dengan TWP 63,93%. Petani dikatakan mengalami kendala pembayaran karena komponen biaya meningkat drastis.
Kuseryansyah mengatakan beberapa rantai pasok pertanian kesulitan membayar kewajibannya karena komponen biaya petani meningkat. Misalnya harga bahan baku, pakan ternak dan lain-lain naik signifikan.
“Jadi tentu saja mereka harus membelinya, tapi harganya tinggi,” katanya. Hal itu menyebabkan margin ruang petani berkurang, yang mengakibatkan kesulitan membayar petani.
Dikatakannya, masalah kesulitan membayar di sektor pertanian tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi terjadi secara global. Di Indonesia, “sektor yang paling sensitif adalah pertanian.”
Menurutnya, hal ini tidak hanya berlaku untuk pinjaman P2P tetapi juga bank dan Multi Finance.
Selain masalah harga pangan dan faktor iklim, konon petani juga disebut menggunakan dana untuk urusan konsumtif.
Kuseryansyah mengatakan hal itu mungkin saja terjadi. Namun, pinjaman fintech P2P memiliki skor kredit yang membaca semua variabel dari calon peminjam yang mengharapkan hal ini.
Fintech juga harus melihat perilaku negatif atau sisi konsumtif peminjam yang dinilai memiliki potensi risiko tinggi. “Untuk melihat perilaku peminjam dari media sosial,” ujarnya.
“Jadi kami punya skor menggunakan data media sosial dan data lain yang bersifat tambahan, yang biasanya tidak digunakan dalam analisis kredit di perbankan,” kata Kuseryansyah.
Jumlah perusahaan rintisan pinjaman online yang dipantau OJK meningkat dibandingkan tahun lalu sebanyak 22 perusahaan.
“Ada 25 perusahaan peer to peer lending dengan TWP90 di atas 5%,” kata Kepala Eksekutif Bidang Perasuransian, Penjaminan, dan Pengawasan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono akhir bulan lalu.
OJK akan memberikan surat pembinaan kepada 25 startup fintech lending atau pinjaman online. Surat ini meminta mereka untuk mengajukan rencana aksi untuk memperbaiki pembiayaan kredit macet.
OJK akan memantau pelaksanaan rencana aksi untuk memastikan pinjaman tidak terbayar atau menurunkan TWP90.
Jika situasi pinjaman yang belum dibayar benar-benar meningkat, OJK akan mengambil tindakan pengawasan lebih lanjut.
Meski begitu, kondisi industri pinjaman online atau fintech loan di Indonesia terpantau aman pada Januari lalu. Dengan rincian sebagai berikut:
Laba bersih Rp 50,48 miliar atau pertama kali sejak berdiri Rasio beban usaha terhadap pendapatan usaha (BOPO) 89,16% atau lebih efisien dibandingkan Desember 2022 97,78% dan Januari 2022 107,96% Beban usaha (biaya tenaga kerja, pemasaran dan periklanan, beban umum dan administrasi, biaya pengembangan dan pemeliharaan TI) meningkat 56,79% secara tahunan (year-on-year/yoy) menjadi Rp 890,49 miliar Total pendapatan operasional (atas pelunasan pinjaman, pinjaman dan denda) meningkat 81,79% yoy menjadi Rp998,79 miliar Penyaluran akumulasi pembiayaan meningkat 63,47% yoy menjadi Rp51,03 triliun TWP90 turun 2,75%