Momentum Works di Singapura menilai TikTok tetap bisa memanfaatkan data media sosial yang besar untuk mendorong bisnis e-commerce perusahaan, meskipun dilarang memfasilitasi transaksi jual beli di Indonesia.
Momentum Works merupakan perusahaan yang berfokus mengembangkan kerja sama strategis di bidang teknologi di seluruh dunia. CEO Momentum Works Jianggan Li menilai, tim TikTok pendiam dalam merespons kebijakan pemerintah Indonesia.
“Itu bukan strategi yang tepat,” kata Jianggan dalam keterangan pers, Rabu (27/9).
Padahal, ia melihat ada kampanye di media sosial dengan tagar #kamiumkmditiktok untuk mendukung kebijakan pemerintah. Beberapa kementerian juga sudah mengungkapkan pandangan mereka terkait kekhawatiran dampak TikTok terhadap UMKM.
Jianggan menilai, langkah pemerintah Indonesia memaksa TikTok memisahkan platform media sosial dan e-commerce meniru cara Amerika hingga Eropa. “Namun pengaruhnya di Indonesia sangat diragukan,” kata dia.
“Terlepas dari bagaimana pelarangan tersebut diterapkan, traffic konsumen TikTok yang sangat besar akan terus dimanfaatkan untuk e-commerce, melalui TikTok Shop atau cara lain, oleh TikTok atau oleh pihak lain,” Jianggan menambahkan.
Apalagi jumlah pengguna TikTok di Indonesia merupakan yang terbesar kedua di dunia setelah Amerika. Rinciannya sebagai berikut:
Menurutnya belum terlambat bagi TikTok untuk terlibat dan membalikkan keadaan. “Namun, mereka harus berani dan bersifat lokal),” ujar Jianggan.
Peneliti Institute for Development of Economic Studies atau INDEF Nailul Huda pun menilai, TikTok tetap bisa memanfaatkan algoritme untuk mendongkrak penjualan melalui media sosial.
Menurutnya, pemerintah perlu mendorong TikTok memperoleh izin sebagai social commerce. “Praktik pemisahan aplikasi itu sudah biasa dan tidak ada batasan penggunaan data di sister apps untuk kepentingan aplikasi utama,” kata Nailul kepada Katadata.co.id, Senin (25/9).
Pemerintah perlu mengatur terciptanya keadilan dalam berbisnis atau level playing field yang setara antara e-commerce ataupun pedagang offline. Caranya:
Mengatur detail social commerce untuk disetarakan dengan e-commerce, mulai dari persyaratan admin hingga perpajakan Semua e-commerce wajib melakukan tag-ing barang impor Produk impor harus menyertakan sertifikasi produk, seperti SNI, halal, BPOM, dan lainnya Memperketat produk impor di e-commerce Memberikan disinsentif terhadap produk impor dengan biaya admin lebih tinggi, tidak boleh mendapatkan promosi dari platform Memberikan insentif bagi produk lokal berupa promosi
Namun ia juga menyoroti banyaknya reseller Indonesia yang menjual produk impor dari Cina relatif banyak di platform e-commerce dan social commerce. Harga yang dijual lebih murah.
Oleh karena itu, menurutnya pemerintah perlu mengatur masuknya barang impor. Selain itu, bisa meniru cara India mengatur produsen yang ingin berjualan langsung di platform e-commerce dan social commerce.