Setelah 12 tahun belajar dan bekerja di luar negeri, Budi Gandasoebrata membangun Midtrans. Perusahaan ini bergerak di bidang financial technology alias financial technology (fintech). Budi membangunnya bersama Ryu Suliawan pada 2012, meski tidak memiliki latar belakang sistem pembayaran.
Satu dekade kemudian, Midtrans kini menjadi bagian dari sistem pembayaran salah satu unicorn terbesar di Indonesia, GoTo.
Kisah Midtrans dimulai pada tahun 2012. Saat itu, e-commerce sedang berkembang pesat di Indonesia. Beberapa nama muncul, yakni Tokopedia, Bukalapak, Traveloka, dan MatahariMall.
Budi mengingat saat ini banyak pihak berlomba-lomba menciptakan pasar yang memiliki keunikan tersendiri. Misalnya, ada ceruk pasar produk kecantikan yang hanya membidik kebutuhan bayi.
Namun, ada satu hal yang kurang diperhatikan saat itu: sistem pembayaran. Meskipun e-commerce di Indonesia sudah mulai banyak, namun metode pembayaran yang digunakan masih manual melalui transfer bank.
Bahkan, kata Budi, ada pasar yang memiliki tim khusus untuk mengecek struk transfer yang dikirimkan pengguna kepada mereka satu per satu. “Daripada bersaing dengan semua orang, lebih baik menciptakan bisnis yang bisa digunakan untuk semua orang. Dan saat itu pembayaran pasti salah satunya,” kata Budi di Impacttalk Vodcast, beberapa waktu lalu.
Midtrans awalnya mencoba fokus pada metode pembayaran kartu kredit. Budi memilih cara tersebut karena yakin kelas menengah Indonesia akan terus tumbuh. Apalagi jika melihat situasi global saat itu di Jepang, Amerika dan Eropa. Di sana, tingkat penetrasi kartu tinggi.
Selain itu, langkah integrasi kartu kredit tidak semudah sekarang, bahkan ada bank yang tidak menerima merchant dengan metode pembayaran ini.
Membangun Midtrans Tanpa Peraturan Bank
Hadir sebagai payment gateway alias perusahaan jasa pembayaran, Budi menyebut ada tiga kesulitan dari pihak bank saat itu. Pertama, saat menawarkan produknya ke berbagai bank dengan mendatangkan dealer yang bekerja sama dengan Midtrans, usianya masih terbilang muda, 28 hingga 29 tahun.
Rupanya, usia muda ini menghalangi para pedagang untuk bekerja sama dengan bank. Berdasarkan kebijakan yang berlaku saat itu, bank perlu melihat akta perusahaan, daftar direksi, dan usia mereka. Sebagai bagian dari pengurangan risiko, bank menolak mengajukan mitra kartu kredit merchant karena usia direktur di bawah 30 tahun.
“Tapi soal kebijakan, untungnya waktu itu Midtrans yang masih bernama Veritrans langsung bawa PCI DSS. Kalau kita tersertifikasi PCI DSS, itu membuka jalur yang relatif mudah,” kata Budi.
PCI DSS sendiri adalah singkatan dari Payment Card Industry Data Security Standard, sebuah standar keamanan global untuk melindungi data kartu kredit.
Kendala kedua yang dialami pada awal pembentukan Midtrans adalah belum adanya regulasi payment gateway. Budi mengaku aktif menghubungi Bank Indonesia sejak awal pengembangan Midtrans. “Saat itu BI bilang, selama kalian di bawah kami, dan kami sadar kalian ada, tidak masalah karena tidak ada izin juga,” kata Budi.
Selain kendala, terdapat bantuan yang berperan penting dalam perkembangan Midtrans yaitu investor. Ada tiga investor utama yang mempengaruhi kiprah awal Midtrans, yaitu MidPlaza Holding, NetPrice dan VeriTrans dari Jepang.
Dengan portofolio investor MidPlaza Holding sebagai grup konglomerat real estate terbesar di Indonesia, Midtrans memiliki akses ke berbagai pihak. Belakangan, NetPrice dan VeriTrans sebagai perusahaan pembayaran di Jepang turut mengembangkan teknologi Midtrans.
“Tapi sekarang bank sudah melek teknologi, mereka sudah menerima transformasi ini. Sepuluh tahun lalu, bisa dibilang tantangan karena ini juga sesuatu yang baru kan,” ujar Budi.
[Perbincangan lengkap program Impacttalk tersebut bisa dililhat pada link berikut ini]
Diakuisisi oleh Unicorn Pertama di Indonesia
Setelah lima tahun beroperasi, Midtrans mendapat tawaran pengambilalihan dari Gojek untuk memperkuat lini bisnis keuangannya. Dia tidak pernah membayangkan bahwa dia akan begitu dirayu. Sebab, visi Midtrans hanya menjadi sistem pembayaran yang lancar bagi masyarakat Indonesia.
Oleh karena itu, tawaran tersebut tidak serta merta diterima. Hal itu kemudian menjadi pertimbangannya ketika ternyata Gojek juga berusaha mengakuisisi dua perusahaan fintech lainnya yakni Kartuku dan Mapan.
“Apakah itu keputusan yang mudah? Tidak. Kami memiliki beberapa refleksi diri, tetapi menerimanya karena penawaran ini dapat membantu kami mencapai visi dan misi kami lebih cepat untuk mewujudkan sistem pembayaran di Indonesia. Ini kesempatan sekali seumur hidup,” kata Budi.
Akuisisi ini berdampak lebih besar tahun lalu, ketika Gojek mengumumkan merger dengan platform e-commerce Tokopedia. Perusahaan yang kemudian bernama GoTo ini akhirnya memiliki tiga lini bisnis dengan area yang saling melengkapi. Mulai dari layanan on demand yaitu GoJek untuk layanan transportasi dan pengiriman, kemudian e-commerce yaitu Tokopedia dan sektor keuangan yaitu GoTo Financial.
Berdasarkan laporan keuangan GOTO pada kuartal pertama, GoTo Financial malah mendukung kinerja induk perusahaan. Layanan fintech ini memiliki nilai transaksi bruto
(GMV) dari dua lini bisnis lainnya, seluruhnya ada di kotak data berikut: